BusinessUpdate – Tim Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), Yogyakarta mengembangkan inovasi pemanfaatan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai pakan alternatif ramah lingkungan untuk hewan ternak ruminansia (memamah biak).
Riset tersebut merupakan bagian dari Program Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) 2023-2025, hasil kerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Penggunaan bungkil biji nyamplung sebagai pakan tunggal, terbukti mampu menghasilkan atau menurunkan konsentrasi produksi (gas) metan pada ternak ruminansia secara in vitro,” kata Ketua Tim Riset Fapet UGM Dimas Hand Vidya Paradhipta melalui keterangannya di Yogyakarta, Jumat (14/2/2025).
Dengan mereduksi produksi gas metan pada ternak ruminansia, pakan alternatif itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan.
Nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman hutan asli Indonesia yang dapat hidup dan berkembang pada kondisi lingkungan ekstrem, tersebar di banyak kepulauan dari Sumatera hingga Papua.
Pohon nyamplung bukan merupakan tanaman pangan, namun menghasilkan buah nyamplung yang bijinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber minyak nabati yang sangat baik.
Selama ini, biji nyamplung telah dimanfaatkan sebagai minyak nabati atau biasa disebut sebagai Tamanu Crude Oil (TCO) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati/biofuel, produk kesehatan, dan kosmetik.
Padahal limbah dari industri minyak nyamplung, berupa bungkilnya, ternyata masih mengandung nutrisi yang cukup tinggi dan berpotensi menjadi bahan pakan ternak yang ekonomis serta ramah lingkungan.
Pada tahun pertama penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bungkil biji nyamplung dapat digunakan sebagai pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Bungkil biji nyamplung memiliki kandungan protein kasar sekitar 20%, lemak kasar sebesar 15,3%, total phenol sebesar 6,47%, dan total flavonoid sebesar 1,70%.
Namun saat ini bungkil biji nyamplung belum direkomendasikan sebagai pakan unggas, karena kandungan serat kasarnya yang tinggi, hampir 18%. Hal ini dapat terjadi karena model pengepresan minyak biji nyamplung masih menggunakan sistem hidrolik.
Ke depan apabila sudah menggunakan sistem pengepresan screw press expeller, diharapkan bungkil biji nyamplung memiliki kandungan serat kasar yang lebih rendah. “Riset tahun kedua kita berfokus pada penggunaannya dalam pakan campuran, sementara riset tahun ketiga aplikasinya pada domba,” tutupnya. (rn/jh. Foto: Dok. Mongabay)